SOSOK itu memang tak lagi muda, usianya sudah kepala lima. Namun, semangatnya masih membara. Dialah Rob Rama Rambini, pelaut tangguh yang baru-baru ini menorehkan sejarah dengan menjadi orang Indonesia pertama, yang mengarungi ganasnya Samudera Pasifik dari California (AS) hingga ke Bali, dengan perahu layar, seorang diri.
Pria dengan nama asli Mahindra Wahyu Pramacipta Wondowisastro itu memang sosok pengembara. Hidupnya yang berpindah-pindah sejak kecil menempa jiwa petualangnya. Dia lahir di Roma, 20 November 1958, saat Sartono Wondowisastro, ayahnya yang diplomat, sedang bertugas di Italia. Menginjak usia balita, Rama dibawa orangtuanya balik ke Indonesia.
Dia menghabiskan masa kecil hingga SMA di Medan dan sebagian di Jakarta. Pada 1981, Rama meninggalkan Indonesia menuju Amerika Serikat (AS). Sempat kuliah di Utah State University, Rama akhirnya memilih keluar pada tahun ke-2. Dia kemudian berpindah ke Rusia dan beberapa negara Eropa selama dua tahun, untuk kemudian kembali dan menetap di San Francisco, California, AS.
’’Dulu, saya memang bandel, sering tidak cocok dengan orangtua,’’ ujarnya saat ditemui di rumah orang tuanya nan asri di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu (17/5). Karena itulah, sejak 1983, pria dengan ciri khas kepala pelontos ini tidak pernah lagi melakukan kontak dengan keluarganya di Indonesia. Keluarga yang sempat mencarinya ke AS pun kehilangan jejak karena ia mengganti nama Mahendra Wondowisastro dengan Rama Rambini, namun karena orang-orang AS sering memanggilnya dengan sebutan Rob, maka ditambahkanlah nama Rob di depan nama Rama Rambini.
Di sana, berbagai pekerjaan dilakoni Rama, mulai dari bartender, front officer, penjaga toko, travel agent, hingga terakhir menjadi fotografer profesional. Namun, jiwa petualangnya terus bergolak. Pada 2003, keinginannya untuk berpetualang makin membara usai membaca buku kisah Tania Aebi, seorang perempuan yang pada Mei 1985 - November 1987, berhasil mengelilingi dunia dengan kapal layar seorang diri. Saat memulai petualangan itu, usianya baru 18 tahun.
’’Kalau Tania Aebi bisa mengelilingi dunia, maka saya juga harus bisa. Apalagi, setelah 20 tahun lebih di Amerika, ada rasa boaring (bosan, Red),’’ demikian tekad Rama. Akhirnya, pada 2005, Rama membeli sebuah kapal layar bernama KONA. Itu adalah nama sebuah distrik di Hawaii atau bisa juga nama sebuah kopi campuran. Kapal berbobot 14 ton itu memiliki panjang 30 feet/kaki atau sekitar 9 meter dan lebar 9,5 feet atau sekitar 3 meter, dengan tiga tiang layar setinggi 12 meter.
Kapal dua silinder dengan jenis motor diesel berdaya 16 PK itu hanya dilengkapi alat sederhana, seperti kompas dan GPS (global positioning system), tidak ada peralatan canggih seperti radar, auto pilot, maupun pembaca cuaca. KONA memang bukan kapal baru, melainkan kapal bekas yang dibuat pada 1966, sehingga umurnya sudah 39 tahun, karena itu harganya pun cukup murah, sekitar USD 10 ribu atau Rp 100-an juta.
Selain membaca buku-buku pelayaran, Rama juga mengambil kelas kursus pelayaran. Dia membayar USD 350 atau sekitar Rp 3 juta untuk ikut kursus privat dasar-dasar pelayaran dengan berlayar di Bay Area, kawasan teluk dekat San Francisco, yang terkenal dengan arus laut dan anginnya yang kencang. ’’Kalau ikut kursus lengkap, biayanya bisa ribuan dolar (AS), tapi karena hanya belajar basic (dasar) saja, jadi biayanya murah,’’ ceritanya.
Sejak memiliki kapal, Rama ingin hidup di kapal dan mengembara ke negara-negara di kawasan Amerika Selatan, terutama Argentina. Namun, niat itu tak kunjung terlaksana karena mentalnya belum kuat.
Rama yang hingga kini betah melajang ini pun terus mengasah kemampuan berlayar dan memperkuat mentalnya. Namun, di awal 2009, tiba-tiba ingatannya melayang ke Indonesia. Saat itu pula, terbetik ide untuk pulang ke Indonesia dengan perahu layar miliknya.
Rama bercerita, ide itu muncul karena teringat kejadian ketika neneknya meninggal. Saat itu, dia masih SMA di Medan sekitar awal tahun 1980-an. Di saat terakhir neneknya, semua anak-anaknya berada di luar negeri. ’’Sebelum meninggal, saya ingat betapa sedihnya nenek. Saya jadi memikirkan Ibu. Ketika muda, saya memang bandel, karena itu saya berharap bisa bertemu dan meminta maaf, mumpung masih ada waktu. Karena itu, pada 2009, saya kirim postcard (kartu pos) ke Indonesia, bilang akan pulang, tapi tidak bilang kalau akan naik kapal layar,’’ katanya.
’’Bukan ingin pamer, saya hanya ingin beri contoh semangat bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk berprestasi di bidang pelayaran,’’ ucapnya. Akhirnya, petualangan itu pun dimulai. Pada 8 Mei 2010, Rama beserta KONA-nya meluncur meninggalkan pantai Oakland, California. Lokasi tujuan pertamanya adalah Hawaii. Sebagai bekal, Rama mengisi KONA dengan berbagai makanan seperti makanan kaleng, corned beef, mi goreng, pancake dan peanut butter, serta 100 liter air bersih.
Tanki kapal terisi 80 liter bahan bakar solar, serta satu pack berisi sekitar 10 pasang pakaian. Tak lupa, laptop 14 inci dan kamera digital. Pada 13 Mei 2010, ketika beranjak 100 nautical mile atau sekitar 185,2 km (1 nautical mile = 1,852 kilometer) dari lepas pantai San Francisco, Rama sudah harus menyambung nyawa. Badai dan ombak setinggi 12 meter menghajar kapalnya, layar utama robek, railing layar rusak, dan pintu kapal copot. Saat itu, ada dua opsi. Pertama, kembali ke Oakland untuk memperbaiki kapal dan layar. Dua, melanjutkan perjalanan dengan layar seadanya ke Hawaii yang masih berjarak 2.000 nautical mile.
’’Saya buka kotak makanan, kira-kira masih cukup untuk tiga bulan. Akhirnya, saya putuskan untuk terus jalan,’’ katanya. Butuh waktu 2 bulan 7 hari untuk sampai Hawaii. Di situ, Rama membeli tiga layar bekas dan mendapat bonus satu layar, serta peralatan untuk memperbaiki layar, makanan, dan air bersih. Pada 3 Agustus, KONA meninggalkan Waikiki Beach, Honolulu, Hawaii. Tujuan selanjutnya adalah Kepulauan Solomon, di Samudera Pasifik. Sampai di Solomon, dia membeli bekal makanan dan minuman, kemudian melanjutkan perjalanan melintasi Coral Sea, perairan antara Australia dan Papua New Guinea.
Pada 25 Oktober 2010, Rama pun tiba di Port Moresby, Papua New Guinea. Di sana, paspor Rama sempat ditahan oleh petugas imigrasi. Pasalnya, gambar di paspor sudah luntur kena air laut. Pihak imigrasi pun akhirnya menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Namun, petugas KBRI pun menyangsikan kalau Rama adalah warga Indonesia. Maklum, sudah puluhan tahun dia hidup di AS, sehingga bahasa Indonesia-nya pun tidak lagi lancar.
Rama tak kurang akal, dia akhirnya meminta petugas KBRI untuk menghubungi keluarganya di Jakarta. Berbekal alamat, nomor telepon pun ketemu. Saat itulah, keluarganya memastikan bahwa Rama adalah warga negara Indonesia (WNI). ’’Waktu itu, saya berbicara dengan Ibu saya. Itu adalah pembicaraan pertama saya dengan Ibu sejak 1983,’’ katanya lirih. Ibunya adalah Trisutji Kamal, salah satu komposer dan pianis legendaris di Indonesia.
Setelah suaminya wafat, dia menikah lagi dengan Ahmad Badawi Kamal. Pada 12 November 2010, Rama meninggalkan Port Moresby menuju Nusa Tenggara. Saat memasuki perairan Australia, Rama terus dipantau oleh petugas Torres Strait Regional Authority melalui radio. ’’Sepanjang yang saya tahu, perairan Australia ini salah satu yang paling ketat di dunia,’’ ucapnya.
Namun, tantangan besar menghadang Rama. Ketika itu, selama beberapa minggu, angin barat berhembus kencang ke arah timur. Dengan perahu layar yang ingin bergerak ke barat, tentu kondisi menjadi sangat sulit. Rama pun menurunkan layar dan mulai menggunakan mesin. Kekhawatiran menyeruak karena bahan bakar menipis, sementara angin tidak mendukung.
Beruntung, saat itu ada kapal tanker Australia yang melintas. Rama pun mengontaknya melalui radio dengan frekuensi 16 yang merupakan saluran emergency untuk perairan internasional. Tanker yang sudah melintas itupun berbalik, menghampiri kapal Rama dan menurunkan solar 40 liter dan satu kardus makanan. Tak lama kemudian, melintas kapal pesiar milik warga negara Australia yang baru kembali dari Ambon. Pemilik kapal itu memberikan 80 liter solar untuk Rama. ’’Di lautan, semua bersaudara, tolong-menolong sudah biasa,’’ ujarnya.
Pada 13 Desember 2010, Rama mendarat di Tanimbar, Sumlaki. Setelah itu, sembari menunggu cuaca kondusif, dia singgah di Alor NTB serta Flores, kemudian Lombok. Dan akhirnya, pada 3 April pukul 01.30 dinihari, Rama tiba di Marina Bay, Benoa, Bali.|
Di situ, sekitar 100 orang menyambutnya, termasuk Ibu dan saudaranya. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) pun memfasilitasi pemberian rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) kepada Rama sebagai: Orang Indonesia Pertama yang Berlayar Seorang Diri dari California ke Bali.
’’Saya tak mengira akan mendapat sambutan seperti itu. Saya terharu, saya menangis ketika bertemu Ibu saya,’’ ceritanya.
Itulah Rob Rama Rambini, yang seorang diri menempuh perjalanan 10.000 nautical mile (sekitar 18.520 kilometer) selama 10 bulan 27 hari, dari California ke Bali, untuk menemui sang Ibu.
Di samudera, ketika sendirian, Rama seringkali hanya ditemani burung camar dan sesekali lumba-lumba. Membaca buku tentang pelayaran dan menjahit layar, adalah aktivitasnya sehari-hari. Tidur hanya 4 jam sehari, dan hanya jika ada hujan ia mandi. Kini, ia ingin mengembangkan wisata pelayaran di Bali.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar
KOLOM KOMENTAR TIDAK MENGGUNAKAN CAPJAY,, JADI JANGAN SUNGKAN UNTUK KOMEN. OK....