B. Perkembangan Strategi Nuklir
Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Timur dan Barat) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh.
Nuklir Sebagai Strategi Penangkalan
Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir.
Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:
1. Watak defensif, interaksi strategis baru berlangsung pada saat atau setelah serangan pertama dari pihak lawan.
2. Serangan balasan dilakukan dengan mengandalkan persenjataan yang dapat diselamatkan dari serangan pertama lawan.
3. Rasionalitas dan mirror-image, pihak lawan berpikir dengan logika yang sama seperti yang dilakukannya.
Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).
Strategi Nuklir Pada Masa Perang Dingin
Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang dingin penggunaan strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise attack).
Namun seiring makin berkembangnya kemampuan dan kekuatan nuklir Amerika Serikat, Uni Soviet mulai merasakan arti penting keberadaan senjata nuklir. Sejak pertengahan tahun 1950-an di Uni Soviet muncul perdebatan antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mengenai penggunaan senjata nuklir. Perdebatan ini menyebabkan Uni Soviet mengambil jalan tengah dengan tetap mempertahankan tingkat kepemilikan senjata konvensional dan secara bersamaan juga mengembangkan kemampuan nuklir.
Pada masa pemerintahan Kruschev strategi nuklir makin diterima sebagai kebutuhan strategis oleh Uni Soviet dan pada tahun 1960 Kruschev dan Menteri Pertahanan, Malinovsky berhasil merinci tujuan penggunaan senjata nuklir, kapan digunakan dan bagaimana senjata tersebut digunakan. Doktrin nuklir tersebut intinya menyatakan bahwa senjata nuklir akan digunakan pada “serangan pendadakan di setiap perang lokal yang melibatkan Amerika Serikat atau perang antara kubu sosialis dan kapitalis yang “pasti” meningkat menjadi perang nuklir habis-habisan”. Isi doktrin ini sering juga disebut strategi opsi tunggal. Namun karena pada saat itu kekuatan nuklir Uni Soviet masih rendah doktrin tersebut hanya dipandang sebagai pernyataan penangkal terhadap doktrin perang terbatas AS.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Breznev-Kosygin tahun 1964 hingga 1970 strategi nuklir Uni Soviet tidak mengalami perubahan kecuali tidak mengikuti doktrin Krushev yang menyatakan bahwa “perang antara kubu sosialis dan kapitalis pasti akan meningkat menjadi perang nuklir total” melainkan menggantinya dengan “Uni Soviet akan menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik, lokal & global dengan senjata konvensional ataupun nuklir”.
Di dalam perkembangan selanjutnya Uni Soviet makin menegaskan doktrin strategi nuklir mereka dengan merinci unsur-unsur untuk memenangkan perang yaitu:
1. Penangkalan yang lebih berdaya guna adalah persiapan perang.
2. Kemenangan akan dicapai melalui serangan pre-emtif, dan;
3. Bahwa eksistensi sosial, ekonomi, politik dan militer Uni Soviet dapat dipertahankan.
Selain itu, Uni Soviet juga diyakini telah mampu menyusun ukuran kemenangan di dalam perang nuklir. Ukuran-ukuran tersebut adalah:
1. Meskipun tidak terhindar dari kehancuran, Uni Soviet tetap dapat bertahan.
2. Melanjutkan perang sampai musuh tidak berdaya.
3. Mampu menduduki Eropa.
4. Memegang kendali untuk mengembangkan sosialisme ke seluruh dunia.
Uni Soviet memandang Eropa memiliki nilai yang sangat strategis. Hal ini disebabkan oleh:
1. Pengalaman historis & geopolitik dimana Uni Soviet selalu mendapatkan ancaman dari barat.
2. Eropa Barat merupakan sekutu Amerika Serikat sehingga Uni Soviet beranggapan akan mendapatkan keuntungan jika mampu memecah kerjasama AS-Eropa.
Nilai strategis atas Eropa ini menyebabkan Uni Soviet mengambil kebijakan differential détente yaitu menjalankan strategi pengakhiran ketegangan (détente) terhadap Eropa dan anti-détente terhadap Amerika Serikat.
Dalam mengembangkan strategi nuklir Uni Soviet mengandalkan persenjataannya pada peluru-peluru kendali landas darat karena:
1. Ketepatan dan kecepatannya melebihi rudal-rudal jelajah, pesawat pembom dan rudal-rudal yang dipasang pada kapal selam.
2. Tidak perlu menghadapi sistem pertahanan udara dan sistem anti-kapal selam (anti-submarine warfare, ASW).
Strategi Nuklir Amerika Serikat
Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir, Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat pembom strategis B-52 mulai beroperasi.
Namun, strategi ini banyak mengandung kelemamahan yaitu, pertama, Amerika Serikat diragukan utk menggunakan senjata nuklir. Pandangan ini didasari pada fakta bahwa di perang konvensional sebelumnya (Perang Korea) Amerika Serikat tidak menggunakan senjata nuklir. Kedua, Amerika Serikat tidak mampu menjamin dirinya terhindar dari serangan nuklir Uni Soviet. Padahal efek penagkalan efektif jika Amerika Serikat tidak berada dalam posisi rawan terhadap serangan nuklir Uni Soviet. Ketiga, Serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Uni Soviet mengandalkan pangkalan udara di Inggris & Eropa Barat padahal kekuatan konvensional Barat di Eropa lebih kecil dibandingkan kekuatan konvensional Uni Soviet dengan demikian Amerika Serikat belum memiliki sarana memadai untuk membuat Uni Soviet bertekuk lutut. Untuk mengatasi kelemahan tersebut Amerika Serikat lalu mengembangkan pemikiran Perang Nuklir Terbatas untuk melengkapi strategi massive retaliation. Pemikiran ini mengakui bahwa tidak semua agresi terhadap Barat dapat ditangkal dengan melakukan serangan langsung ke Uni Soviet. Dengan demikian Amerika Serikat memperluas keberedaan senjata-senjata nuklir taktisnya ke negara-negara sekutunya yang lain dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan Uni Soviet.
Sekali lagi strategi ini dpandang memiliki kelemahan karena dapat mendorong Uni Soviet menyerang Amerika Serikat karena telah mengetahui kelemahan strategi massive retaliation sehingga menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik lokal dan perang nuklir terbatas menjadi makin besar. Dengan demikian yang terjadi adalah sebuah paradoks: menghindari perang nuklir malah memicu perang nuklir global.
Pada tahun 1960-an Amerika Serikat mengembangkan strategi flexible response. Strategi intinya terletak pada keluwesan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan dengan cara meningkatkan kemampuan menghadapi semua bentuk perang, baik besar-besaran maupun terbatas, nuklir ataupun konvensional. Strategi ini menekankan pada prinsip counterforce dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban penduduk sipil jika terjadi perang nuklir. Dengan menjalankan prinsip counterforce maka terbuka kesempatan bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan pre-emtif.
Strategi ini juga memiliki kelemahan yaitu counterforce efektif apabila persenjataan strategis Amerika Serikat digunakan sebelum senjata-senjata lawan digunakan. Artinya counterforce dapat merangsang Amerika Serikat untuk melakukan first strike menjadi lebih besar. Ini menyebabkan ancaman perang nuklir menjadi lebih besar karena Uni Soviet akan melihat implikasi tersebut dan melakukan upaya untuk tidak diserang terlebih dahulu. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan Uni Soviet mengembangkan ICBM (Inter-continental Ballistic Missile) dan SLBM (Sea Launch Ballistic Missile) pada pertengahan 1960-an. Kondisi ini dapat mengancam terjadinya perlombaan senjata yang tidak terkendali.
Kelemahan tersebut mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan strategi nuklir yang baru. Strategi tersebut disebut sebagai MAD (Mutual Assured Destruction). Strategi ini menekankan pada pemikiran “siapapun yang memulai serangan pertama tidak akan memenangkan perang atau menjadi pihak yang kalah karena kekuatan pukul (second strike) kedua belah pihak akan melakukan pembalasan yang dahsyat”. Pemikiran ini menyebabkan Amerika Serikat berusaha untuk menyusun strategi agar sejumlah persenjataan strategisnya tidak rawan dari serangan-dadakan lawan. Jawaban yang diberikan Amerika Serikat atas kebutuhan tersebut adalah dengan menghentikan pengembangan jumlah ICBM yang dimilikinya sebanyak 1054 namun memperbesar jumlah SLBM-nya sebagai sistem yang tidak rawan serangan-dadakan. Berbeda dengan flexible response yang menggunakan prinsip counterforce, MAD menggunakan prinsip countervalue.
Untuk menjaga agar efek penangkalan dari strategi ini, yaitu kehancuran yang meyakinkan (assured destruction), berjalan efektif Amerika Serikat berusaha memperkuat hubungan keamanannya dengan Uni Soviet dengan melakukan pengawasan senjata. Hal ini dibutuhkan karena jika jumlah senjata telah melebihi dari jumlah yang diperlukan maka nilai strategis dari strategi ini akan hilang. Salah satu pengaruh positif dari MAD adalah dicapainya kesepakatan mengenai ABM (Anti-Ballistic Missile Treaty) dan SALT I (Strategic Arms Limited Talks I) pada tahun 1972.
Namun, perkembangan persenjataan Uni Soviet di tahun 1970-an yang terus meningkat kembali melahirkan kritik terhadap strategi nuklir Amerika Serikat. Strategi MAD dirasa tidak lagi mampu untuk menghadapi persenjataan Uni Soviet yang kemampuannya telah meningkat. Amerika Serikat juga dipandang tidak lagi cukup hanya mengandalkan serangan pada kota-kota dan pusat-pusat industri Uni Soviet. Pemikiran ini berusaha mendorong Amerika Serikat untuk juga menjalankan prinsip counterforce di dalam strategi nuklirnya. Selain itu, Amerika Serikat dipandang perlu untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya dan menentukan seperangkat sasaran-sasaran yang akan dihancurkan jika terjadi perang. Kritik-kritik ini kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai Presidential Directive 59 (PD 59) pada tahun 1980. PD 59 memberikan pedoman-pedoman mengenai apa yang hendaknya dilakukan Amerika Serikat dalam menghadapi konflik dengan Uni Soviet. PD 59 memuat puluhan ribu daftar sasaran yang akan dihancurkan Amerika Serikat jika terjadi perang. Namun, walaupun memuat puluhan ribu daftar target, target-taget tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu: 1) kekuatan nuklir Uni Soviet; 2) Kekuatan konvensional; 3) Pimpinan-pimpinan militer dan politik serta fasilitas komunikasi, dan; 4) Sasaran-sasaran ekonomi dan industri Uni Soviet.
0 komentar:
Posting Komentar
KOLOM KOMENTAR TIDAK MENGGUNAKAN CAPJAY,, JADI JANGAN SUNGKAN UNTUK KOMEN. OK....